Borobudur, kabarMagelang__Ratusan pedagang kaki lima (PKL) yang tergabung dalam paguyuban Sentra Kerajinan Makanan Borobudur (SKBM) menggelar aksi di TIC Borobudur, Rabu (17/9/2024).
Mereka menyuarakan aspirasinya karena tidak mendapat kios di Museum dan Kampung Seni Borobudur. Beberapa dialog dengan berbagai pihak telah dilaksanakan, tapi belum mendapat titik temu.
Sekretaris SKMB Dwias Panghegar mengutarakan, ada sejumlah tuntutan yang disuarakan. Pertama, mereka meminta jaminan hak atas lapak pedagang di Museum dan Kampung Seni Borobudur di bawah naungan PT TWC. Bukan di bawah naungan kelompok manapun.
Kemudian, mereka juga meminta untuk diberi kebebasan atas hak berorganisasi. Serta meminta data pedagang yang menjadi acuan adalah hasil pendataan awal yang telah diverifikasi saat di Balai Desa Borobudur.
“Lindungilah hak asasi manusia semua warga Borobudur tanpa adanya sentralisasi,” ungkapnya, Rabu (18/9/2024).
Selama kurang lebih empat bulan, kata dia, pedagang SKMB telah berkomunikasi dan berdialog dengan berbagai pihak. Hanya saja, tidak diperoleh titik temu. Terlebih, ada lebih dari 300 pedagang yang belum mendapat lapak di Museum dan Kampung Seni Borobudur.
“Para pedagang itu, terpaksa menganggur di rumah dan mengasong. Beberapa di antaranya berjualan di tepi Jalan Medang Kamulan. Sebab, mereka juga tidak mendapat lapak sementara yang sebelumnya berlokasi di dekat eks kandang gajah,” bebernya.
Saat ini, lanjut Dwias, para pedagang lain sudah berpindah berjualan di Museum dan Kampung Seni Borobudur.
“Kita tidak masuk ke kelompok yang ditunjuk oleh PT TWC. Karena kita juga paguyuban yang merdeka secara organisasi. Intinya, kita setara saja. Mereka dapat, kita dapat. Tapi, dari PT TWC belum mengakomodasi,” terangnya.
Pada pertemuan terakhir yang difasilitasi oleh Pemkab Magelang, SKMB diminta untuk menyerahkan proposal pengelolaan lapak kepada PT TWC. Hanya saja, dia menyebut, mereka diminta hadir di Balkondes Bumiharjo untuk mempersiapkan kehadiran Presiden Joko Widodo. Dwias menilai, saat pertemuan berlangsung, konten yang disampaikan justru berbeda.
“Terus terang kami fokus dengan hak lapak dulu, kenapa harus ke pengelolaan. Kalau lapak itu sudah diberikan, kita bisa berpikir ke pengelolaan operasi (lapak). Sedangkan kelompok lain difasilitasi,” kata dia.
Sementara itu, Pengabdi Bantuan Hukum, LBH Yogyakarta Royan Juliazka menyebut, pihak yang bertanggungjawab untuk memfasilitasi pedagang adalah PT TWC.
“Kita masih mengacu pada Keppres Nomor 1 Tahun 1992 tentang Tata Kelola Borobudur. TWC punya kewenangan untuk memindahkan pedagang,” katanya.
Namun, dia menilai, sistem perencanaan atau tata kelola untuk memindahkan pedagang tidak berimbang. Karena itu, masih ada ratusan pedagang yang sebelumnya berjualan di Zona II kompleks Candi Borobudur, telantar.
Sementara kelompok lain, mendapatkan fasilitas berupa lapak di Museum dan Kampung Seni Borobudur.
“Kita sudah melakukan pertemuan tiga kali, yaitu 11 Juli, 14 Agustus, dan 13 September. Tiga kali pertemuan itu tidak ada keputusan sama sekali,” paparnya.
Royan menyebut, hingga hari ini, para pedagang masih menunggu iktikad baik dari PT TWC untuk menyediakan lapak tersebut.
“Karena mereka juga berhak mendapatkan lapak seperti kelompok lain,” ujarnya.
“TWC saat ini tengah fokus pada uji coba peralihan operasional area parkir pengunjung dan pedagang,” katanya.
Dia menambahkan, proses pembagian kios pedagang sudah dilakukan secara transparan. Supaya bisa bersama-sama mentransformasi kawasan Borobudur.
“Selama ini, TWC juga berkomitmen memberikan ruang terbuka untuk berdialog dengan para pedagang,” ucapnya.
“Saya tidak bisa menanggapi hal itu. Kami masih fokus uji coba. Tapi, kami menampung aspirasi para pedagang tersebut. Dialog terus terjadi dan kami masih menunggu solusinya,” pungkas Sakti.(rez).
Tidak ada komentar: