Mungkid, kabarMagelang__Pimpinan
Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. H. Haedar Nashir, M.Si. menilai tidak bolehnya peserta Paskibraka
mengenakan jilbab pada upaca Hut RI ke79 di Ibu Kota Nusantara (IKN) tidak
mencerminkan Pancasila. Hal tersebut disampaikan Haedar usai melakukan
Groundbreaking pembangunan gedung kuliah bersama di kompleks UNIMMA kampus II Mertoyudan
Magelang, Jumat (16/8/2024).
Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. H. Haedar Nashir, M.Si. mengatakan
sangat menghargai langkah Presiden Joko Widodo yang telah membolehkan kembali
bagi peserta Paskibraka mengenakan jilbab sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
“Kita menghargai
langkah Presiden dan panitia untuk membolehkan kembali bagi mereka yang
berjilbab mengenakan jilbab sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Yang kita
kehendaki itu,” tuturnya.
Dia mengungkapkan peraturan
tidak dibolehkanya peserta Paskibraka mengenakan jilbab dikeluarka oleh BPIP
tahun 2024 ini.
“Inikan peraturan
yang dikeluarkan oleh Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) tahun 2024 itu berbeda dengan yang
sebelumnya. Kalau yang seblumnya itu diboleh kan untuk mereka yang berjilbab dan
warnanya saja yang menyesuaikan,” ungkap Haedar.
Haedar menialai bahwa
BPIP merupakan pusat penggodokan, dan pembinaan Pancasila harusnya menjadi
teladan terutama dalam menanamkan nilai Pancasila itu sendiri.
“Jadi BPIP itu pusat
penggodokan pembinaan Pancasila mestinya menjadi teladan dalam menanamkan nilai
keTuhanan yang Maha Esa hingga keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Terutama
yang sila satu dan dua. Jadi orang berjilbab itu menjalankan agama dan kita
menghormati juga yang beragama lain dan belum berjilbab,” ujarnya.
“Ketika yang sudah
berjilbab dan itu keyakinan agama, itu
sejalan dengan Pancasila, terutama sila satu dan dua, sejalan dengan pasal 29
UUD 45,” sambung Haedar.
Dengan tidak
membolehkan tidak memakai jilbab, lanjut Haedar, justru BPIP sebagai pelopor sekularisasi
yang bertentangan di Indonesia. Hal tersebut tidak sesuai dengan ajaran Sukarno
damiana Indonesia tidak boleh menjadi bangsa sekuler.
“Jadi BPIP malah
jangan justru memelopori saikularisasi di Indonesia karena itu bertentangan. Kita
harus ingat seperti kata Bung Karno, ketika menjelaskan sila ketuhanan bukan
hanya bangsa Indonesia yang bertuhan tapi negara itu harus bertuhan. Artinya Indonesia
tidak boleh menjadi negara saikuler,” bebernya.
Dia juga menyatakan
tidak setuju jika masih ada orang Indonesia berpandangan bahwa memakai jilbab
itu adalah bagian dari benih radikalisme.
“Dan jangan ada
pandangan orang memakai jilbab itu radikal, dan benih radikal. Itu kalau masih ada yang berpandangan begitu
jangan-jangan dia yang radikal,” ujar Haedar.
Terkait isu adanya ormas
islam yang mengusulkan mencopot BPIP, Haedar menilai bahwa hal tersebut merupakan
bentuk pesan moral yang disuarakan untuk para pemimpin agar tidak sekehedak
sehingga menimbulkan kegaduhan di Masyarakat.
“Itu kan semestinya
jadi komitmen atasanyalah. Jadi itu Muhammadiyah hanya menyuarakan pesan moral
komitmen berbangsa bernegara agar para pemimpin yang diberi amanat itu jangan
sekehendak,” ucapnya.
“Nak kalau kemudian
menimbulkan kegaduhan bahkan bertentangan dengan Pancasila ya pimpinan di atasanyalah
kita harapkan melakukan tindakan,” pungkas Haedar.(haq).
Tidak ada komentar: