Kegiatan ini diawali dengan mengarak gunungan berupa hasil bumi dari musala menuju panggung di depan rumah kepala dusun setempat. Atau berjalan kaki sekitar 500 meter. Warga ramai-ramai membawa ingkung ayam, nasi tumpeng jangka, dan beberapa lauk pelengkap lainnya.
Setelah berkumpul, mereka berdoa yang dipimpin oleh sesepuh dusun. Barulah para warga kembali ke rumah masing-masing. Tradisi turun temurun ini memang rutin digelar saban Rabu Pahing di bulan Safar pada penanggalan kalender Hijriah. Jika tidak ada Rabu Pahing, akan dilaksanakan di bulan setelahnya. Yang mana bertujuan sebagai ungkapan syukur atas nikmat yang didapat.
Kepala Dusun Mantran Wetan Handoko mengatakan, ada total 161 KK di dusunnya. Masing-masing dari mereka membuat beberapa ingkung ayam. Satu di antaranya untuk didoakan saat genduri dan sisanya untuk disuguhkan kepada tamu yang datang. Sebab setiap tamu yang bertandang, diminta untuk makan.
"Tradisi saparan ini sudah menjadi kepercayaan dan turun-temurun. Kalau melaksanakan syukuran, berpedoman pada Rabu Pahing. Dulu pernah di lain hari (tidak di Rabu Pahing) tapi ada kendala. Nasinya jadi basi semua. Sehingga para sesepuh mewanti-wanti agar penerus melaksanakan saparan di Rabu Pahing," ungkapnya, Rabu (13/9/2023).
Dari situlah, warga percaya bahwa tradisi Sarapan harus digelar pada Rabu Pahing. Sekalipun tidak ada hari tersebut pada bulan Safar. Bahkan, kata dia, tradisi saparan di Dusun Mantran Wetan ini melebihi saat Lebaran.
"Setiap warga mengundang kerabat maupun relasinya untuk ikut merayakan tradisi Saparan ini," Katanya.
Selain sebagai ungkapan syukur, saparan ini sekaligus menjadi momentum untuk menyambung tali silaturahmi. Biasanya, mereka akan berdatangan setelah pukul 12.00 hingga malam hari. Mengingat ada pagelaran wayang kulit yang dilaksanakan semalam suntuk.
"Kalau untuk doa khusus, kami minta rezeki agar berkah dan lebih melimpah. Juga doa menjelang pemilu 2024," Terangnya.
Setelah pemberian doa, ada jeda beberapa saat untuk menampilkan Jaran Kepang Papat. Kesenian ini wajib ditampilkan pada merti dusun. Para pemainnya berasal dari kalangan berumur. Jaran kepang papat ini diambil dari kiblat atau sudut empat dan lima pancer atau titik.
Sementara alat yang digunakan yakni empat buah jaranan kepang berwarna hijau dan kuning, serta bendera merah. Kedua warna tersebut tidak bisa diubah. Juga satu buah rebana dan kempyang.
"Sudah warisan leluhur. Biasanya jaranan ini dimainkan setiap bulan Syawal, Safar, dan ketika ada nazar," katanya.
Handoko menyebut, jaran papat ini dimainkan dengan beberapa babak. Biasanya, sampai malan dan dimainkan tanpa penonton sekalipun.
"Biarpun hanya satu babak, tapi harus pentas dulu. Ini juga tidak bisa dimainkan oleh sembarang orang. Sudah turun-temurun," Ujarnya.(kmgl/az).
Tidak ada komentar: