PADA Pemilu Serentak 2019 yang lalu terutama berkaitan dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden hoaks tentang politik beredar lebih banyak di media Sosial (medsos). Hoaks tersebut sengaja dibikin dan disebarkan dengan berbagai macam motif dan tujuan.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat ada 610 konten hoaks yang muncul di media sosial selama proses penyelenggaraan tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 dimulai. Dari 610 konten hoaks tersebut, 187 diantaranya telah dilaporkan kepada masing-masing platform media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan YouTube.
Masyarakat Anti Fitnah Indonesia ( Mafindo) pada 16 Maret 2019 merilis hasil laporan jumlah hoaks yang berhasil didata dan diverifikasi sebagai hoaks sejak 2018 sampai dengan Januari 2019. Jumlah hoaks pada tahun 2018 mencapai 997 hoaks dan 488 hoaks (49,94%) diantaranya bertema politik.
Dari 488 hoaks tersebut, Mafindo mencatat terdapat 259 hoaks dengan tema politik sejak Juli sampai dengan Desember 2018. Sedangkan jumlah hoaks pada bulan Januari 2019, sebesar 109 buah dengan 58 hoaks diantaranya bertema politik.
Meningkatnya jumlah hoaks dengan tema politik yang berhasil diverifikasi oleh Mafindo sebagai hoaks/disinformasi, berpotensi mengancam kualitas pesta demokrasi terbesar dalam sejarah bangsa Indonesia. Ia tak hanya akan merusak akal sehat calon pemilih, namun juga mendelegitimasi proses penyelenggaraan pemilu, dan lebih parahnya mampu merusak kerukunan masyarakat yang mengarah ke disintegrasi bangsa
Mafindo, memberikan catatan bahwa jumlah angka hoaks politik tersebut belum mencerminkan dampak atau tingkat kerusakannya. Ada hoaks yang bisa lebih merusak ketimbang hoaks yang lain. Demikian juga jenis hoaks yang menyasar sebuah kelompok, ada yang jenis hoaks positif yang bisa jadi dibuat oleh pendukungnya sendiri.
Ruang publik khususnya di media sosial dan group percakapan lebih banyak diisi dengan perdebatan kosong dengan topik hoaks daripada adu argumen tentang program ataupun topik lain yang lebih substansial. Angka kenaikan jumlah hoaks tersebut seharusnya menyadarkan bahwa hoaks ini masih menjadi masalah bersama yang akan merugikan semua pihak. Hanya jika kita menjadi masyarakat sadar fakta maka kita bisa melanjutkan kehidupan demokrasi dengan baik mengutip dari Septiaji Ketua Mafindo Indonesia.
Anggota Presidium Masyarakat Anti-fitnah Indonesia (Mafindo) Anita Wahid mengatakan, hoaks yang terjadi pada Pemilu 2019 tidak ditujukan menurunkan elektabilitas salah satu pasangan calon, tetapi untuk memelihara kebencian terhadap peserta pemilu.
Hoaks pada Pemilu 2019 tidak hanya menyerang para peserta Pemilu saja, namun juga menyerang penyelenggara Pemilu, baik KPU maupun Bawaslu. Salah satu hoak yang menyerang KPU seperti adanya 7 kontainer surat suara yang sudah dicoblos di suatu tempat.
Akar masalah utama di balik masifnya penyebaran hoaks di Pemilu 2019 tidak dapat dilepaskan dari banyak faktor, mulai dari rendahnya literasi digital dan literasi politik warga yang tidak berbanding lurus dengan meningkatnya frequensi warga dalam mengakses internet dan media sosial, kurang tegasnya negara pada perusahan platform, sampai pada kurang optimalnya pemerintah dan khususnya penyelenggara pemilu dalam memberikan sosialisasi dan pendidikan politik kepada warga.
Penyebaran hoaks pada pemilu tidak dilakukan oleh akun akun resmi peserta pemilu, dalam kontestasi pilpres atau pileg. Penyebar hoaks justru pemilik akun di luar akun resmi tim kampanye. Tapi akun-akun anonim yang tidak dapat terdeteksi keberadaannya. Akun tersebut tidak terdeteksi hubungannya dengan salah satu calon peserta pemilu terutama dilakukan oleh para buzzer politik.
Adanya Buzzer (penyebar hoaks) yang dibayar untuk kepentingan tertentu makin memperparah persebaran hoaks, jasa buzzer politik semakin terang terangan dalam membela salah satu calon tertentu dengan menjelekkan calon lain tetapi sering menggunakan akun anonim sehingga keberadaanya kadang tidak bisa ditindak secara hukum. Berbeda semisal salah satu pendukung calon yang hanya menyebarkan hoaks tapi akunnya menggunakan akun pribadi sehingga keberadaan dan datanya diketahui.
Awalnya, buzzer dikenal sebagai pekerjaan virtual guna mempromosikan suatu produk di media sosial. Buzzer seringkali diasosiasikan sebagai pemasar bisnis agar orang bisa tertarik untuk membeli produk tersebut.
Namun, penggunaan istilah buzzer menjadi terdistorsi, lantaran keahlian mereka dalam memasarkan produk digunakan untuk ‘memasarkan’ kandidat politik dari partai politik tertentu, sehingga istilah tersebut kemudian dikenal sebagai buzzer politik.
Menghadapi Hoaks
Untuk menghadapi pemilu 2024 agar penyebaran hoaks bisa ditekan serta bisa ditindak oleh penyelenggara pemilu ataupun Kepolisian, sudah seharusnya ada undang undang atau peraturan yang mengatur secara detail dan jelas untuk mengatur dan menghambat penyebaran hoaks dalam Pemilu 2024 disertai tutorial cara pelaporan konten dan akun yang terlibat.
Selain itu literasi digital kepada seluruh lapisan masyarakat juga perlu lebih dimasifkan agar masyarakat bisa mengetahui ciri berita hoaks dan bahaya hoaks bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Untuk menghadapi konten negatif dan hoaks, bisa dilawan dengan memperbanyak membuat konten positif, baik dilakukan oleh para calon kandidat pada pemilu 2024, maupun juga penyelenggara pemilu dan semua lapisan masyarakat yang peduli terhadap pemilu.
Pembuatan konten positif, baik berupa visual maupun audio tentang Pemilu 2024 bisa dibikin menarik dan kreatif sehingga masyarakat bisa teredukasi dengan baik karena hadirnya konten positif tersebut. Semakin banyak konten positif bisa viral di media social pada pemilu 2024 maka semakin banyak masyarakat yang mengerti dan teredukasi dan menjadi melek digital.
Konten positif yang menarik dan kreatif tentang pemilu 2024 tersebut dibikin oleh konten kreator maupun kandidat pemilu serta pemerintah menyebabkan masyarakat akan lebih bisa mengerti dan teredukasi terhadap Pemilu 2024. Semakin banyak Konten positif viral dan menyebar di media sosial semakin banyak pula masyarakat yang melek digital dan ikut melawan hoaks di dunia maya. (Muhammad Yasin Awan Wiratno)
Tidak ada komentar: