KOTA, kabarMagelang.com__Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
(Disdikbud) Kota Magelang menemukan masih ada sebanyak 233 anak putus sekolah
di tahun 2018. Sebagian besar anak yang putus sekolah ada di jenjang Sekolah
Dasar (SD).
Kepala Bidang Pendidikan Dasar Disdikbud
Kota Magelang, Sahid menyebutkan, data anak putus sekolah tersebut terdiri dari
jenjang Sekolah Dasar (SD) 130 anak, Sekolah Menengah Pertama (SMP) 86 anak,
Sekolah Menengah Atas (SMA) 9 anak, Taman Kanak-Kanak (TK)2 anak, Kejar Paket 2
anak, Tanpa Keterangan 2 anak.
"Total ada sejumlah 233 anak yang
tercatat putus sekolah. Data ini kami dapat berdasarkan laporan tiap kelurahan
di Kota Magelang," ungkap Sahid, usai kegiatan perumusan kebijakan
penanganan anak putus sekolah, di Ruang Adipura Setda Kota Magelang, Selasa
(16/10).
Kegiatan ini diikuti oleh para
kepala sekolah baik SD maupun SMP di Kota Magelang. Sahid mengatakan,
adanya anak yang putus sekolah ini disebabkan karena sejumlah faktor. Antara
lain rendahnya motivasi belajar, faktor ekonomi, pengaruh lingkungan, dan
faktor lain-lain.
"Di Kota Magelang, faktor yang
paling besar adalah karena motivasi belajar yang rendah," terang Sahid.
Sejauh ini, Pemerintah Kota Magelang melalui
Disdikbud telah berupaya menekan angka anak putus sekolah tersebut dengan
berbagai program kegiatan.
"Kita ada Bantuan Operasional
Sekolah Daerah (BOSDA), pemberian seragam gratis, bantuan lainnya,"
katanya.
Dengan adanya perumusan kebijakan penanganan
anak putus sekolah, lanjut Sahid, diharapkan dapat menghasilkan solusi
terbaik.
"Makanya ini kita rumuskan
bareng-bareng, dengan instansi terkait. Diharapkan ada solusi terbaik mengatasi
angka putus sekolah di Kota Magelang," imbuh Sahid.
Seksi Statistik Sosial, Kantor Badan
Pusat Statistik (BPS) Kota Magelang, Diana Larasati menambahkan, secara
umum, permasalahan putus sekolah di Kota Magelang disebabkan karena dua faktor.
"Yakni faktor internal dan
eksternal. Faktor internal bisa berupa motivasi, kompetensi, dan psikologi.
Sedangkan faktor eksternal antara lain orangtua (ekonomi dan perhatian) serta
lingkungan (budaya, tempat tinggal, pergaulan, dan sekolah," urai Diana.
Menurutnya, perumusan kebijakan untuk
penanganan anak putus sekolah ini sesuai dengan amanat undang-undang. Selain
itu, dalam Konvensi Hak Anak(KHA) ayat 28 disebutkan bahwa negara-negara
peserta konvensi, termasuk Indonesia, bertanggung jawab membuat pendidikan
dasar wajib dan tersedia cuma-cuma untuk semua anak.
"Pada tahun 2000, pemerintah
Indonesia menegaskan komitmennya untuk memberikan pendidikan pada semua anak
dengan menandatangani Dakar Framework for Action on Education for
All. Dengan menandatangani kerangka tersebut, Indonesia menargetkan bahwa Wajar
Pendidikan Dasar (Dikdas) bagi semua anak dapat dicapai pada tahun 2015,"
terangnya. (Kb.M2)
Tidak ada komentar: