SALAMAN, KABARMAGELANG.com __Masjid
Langgar Agung di lereng perbukitan
Menoreh tepatnya di Dusun Kamal, Desa Menoreh, Kabupaten Magelang, merupakan tempat
peninggalan Pahlawan Nasional Pangeran Diponegoro. Bahkan di tempat ini , Pangeran Diponegoro pernah
melakukan mujahadah, dzikir dan berdakwah serta mengatur strategi melawan
penjajahan Belanda. Selain itu Masjid ini termasuk istimewa karena menyimpan
mushaf Al Quran yang konon ditulis tangan oleh Pangeran Diponegoro. Di pagar
depan masjid terdapat jam bencet, atau jam tradisional yang mengandalkan sinar
matahari sebagai penanda waktu.
Bangunan masjid
seluas sekitar 8 x 18 persegi juga tergolong unik karena mirip dengan bangunan
gereja pada umumnya dengan dominasi gaya Belanda. Dari enam kubah yang ada,
empat di antaranya kecil mirip kubah Gereja Bledug Semarang. Namun kubah utama
dan kubah kecil di atas menara setinggi sekitar 25 meter mengadopsi kubah
Masjid Nabawi di Makkah, Arab Saudi.
Sampai sekarang
masyarakat sekitar masih memanfaatkan masjid tersebut untuk beribadah, termasuk
sebagi pusat kegiatan keagamaan sebuah sekolah dan
pondok pesantren Nurul Falah yang berada di depan Masjid Langgar Agung ini.
Pengasuh Ponpes
Nurul Falah, sekaligus pengurus Masjid Langgar Agung, KH Ahmad Nur Shodiq,
mengungkapkan di dalam masjid ini terdapat tempat dimana
Pangeran Diponegoro melakukan mujahadah, dzikir dan berdakwah kepada masyarakat
sekitar. Selain juga merupakan tempat
persembunyian Pangeran Diponegoro dari kejaran pasukan penjajah Belanda. Sekaligus
sebagai tempat mengaktur strategi perang melawan Belanda, tahun 1825-1830
silam.
"Dahulu
masjid ini hanya berupa bangunan bambu
kecil berukuran sekitar 4 meter. Beliau (Pangeran Diponegoro) bersembunyi di
sini saat dikejar-kejar Belanda. Beliau juga melakukan wirid di sini,"
ungkapnya.
Namun demikian
pada saat itu para pasukanya di suruh bersembunyi
dan latihan militer di gua-gua yang ada sekitar perbukitan Menoreh.
“Sebelum tahun
1980-an, puing-puing bekas petilasan Pangeran Diponegoro dan pasukannya masih
dapat dijumpai. Namun sekarang sudah hilang,” kata Nur Shodiq.
Pada tahun 1946, pemerintah setempat dibantu ABRI
(sekarang TNI) memprakarsai pembangunan monumen tersebut untuk menghormati jasa
Pangeran Diponegoro. Semula petilasan itu akan dibangun monumen atau patung
Pangeran Diponegoro namun kemudian disepakati dibanguan mushala atau masjid
secara permanen.
"Masyarakat
saat itu meminta dibuat tempat ibadah seperti ketika digunakan Pangeran
Diponegoro," ujarnya.
Pembangunan
masjid sempat terhenti akibat peristiwa pemberontakan PKI tahun 1965. Beberapa
tahun kemudian pembangunan dilanjutkan hingga selesai sekitar tahun 1972.
Pondasi masjid dengan pengimaman berada di atas tatanan batu yang didirikan
oleh Pangeran Diponegoro.
"Tahun
1972, takmir pertama H Fathoni yang memberi nama masjid ini dengan
"Langgar Agung"," katanya.
Shodiq
menambahkan bahwa perawatan masjid
bersejarah ini tergolong sulit dan mahal. Sebab, sebagian besar bahan-bahan
bangunan masjid sudah berusia lawas sehingga membutuhkan perawatan khusus. Untuk
biaya perawatan sendiri, pihaknya hanya mengandalkan sumbangan para jamaah dan
donuatur.
“Sejauh ini
belum ada anggaran dari Pemerintah khusus untuk perawatan, misalnya kebutuhan
air, listrik, kebersihan, semua dari jamaah maupun donatur,” pungkas Shodiq.
(Kb.M1)
Tidak ada komentar: